Nama : Irfan
firmansyah
Prodi : BTP D IV / III
Nim : 12-05-0090
MK :Pengendalian Hama Perkebunan
Prodi : BTP D IV / III
Nim : 12-05-0090
MK :Pengendalian Hama Perkebunan
DAMPAK TANAMAN TRANSGENIK TERHADAP LINGKUNGAN
Perkembangan teknologi tanaman transgenik mengalami
peningkatan cukup pesat. Pada awal tahun 1988, baru ada sekitar 23 jenis
tanaman transgenik yang diproduksi. Namun pada tahun 1989, terjadi peningkatan
menjadi 30 tanaman dan tahun 1990 terdapat 40 tanaman. Akan tetapi meskipun
perkembangannya cukup pesat, terdapat berbagai kekhawatiran masyarakat terhadap
tanaman transgenik. Seperti kita ketahui bahwa, ”tidak ada teknologi tanpa
resiko”, dan memang masih banyak kelemahan yang harus diperbaiki dan dikontrol
dalam pengembangan tanaman transgenik ini.
Adapun beberapa pengaruh negatif dari produk tanaman transgenik yang
dapat mengancam lingkungan sebagai berikut:
1. Potensi erosi plasma
nutfah
Penggunaan tembakau transgenik telah memupus kebanggaan
Indonesia akan tembakau Deli yang telah ditanam sejak tahun 1864. Tidak hanya
plasma nutfah tanaman, plasma nutfah hewan pun mengalami ancaman erosi serupa.
Sebagai contoh, dikembangkannya tanaman transgenik yang mempunyai gen dengan
efek pestisida, misalnya jagung Bt, ternyata dapat menyebabkan kematian larva
spesies kupu-kupu raja (Danaus plexippus) sehingga dikhawatirkan akan
menimbulkan gangguan keseimbangan ekosistem akibat musnahnya plasma nutfah
kupu-kupu tersebut (anonymous, 2010).
Hal ini terjadi karena gen resisten pestisida yang terdapat
di dalam jagung Bt dapat dipindahkan kepada gulma milkweed (Asclepia
curassavica) yang berada pada jarak hingga 60 m darinya. Daun gulma ini
merupakan pakan bagi larva kupu-kupu raja sehingga larva kupu-kupu raja yang
memakan daun gulma milkweed yang telah kemasukan gen resisten pestisida
tersebut akan mengalami kematian. Dengan demikian, telah terjadi kematian
organisme nontarget, yang cepat atau lambat dapat memberikan ancaman bagi
eksistensi plasma nutfahnya.
2.
Potensi pergeseran gen
Daun tanaman tomat transgenik yang resisten terhadap
serangga Lepidoptera setelah 10 tahun ternyata mempunyai akar yang dapat
mematikan mikroorganisme dan organisme tanah, misalnya cacing tanah.
Tanaman tomat transgenik ini dikatakan telah mengalami
pergeseran gen karena semula hanya mematikan Lepidoptera tetapi kemudian dapat
juga mematikan organisme lainnya. Pergeseran gen pada tanaman tomat transgenik
semacam ini dapat mengakibatkan perubahan struktur dan tekstur tanah di areal
pertanamannya.
3.
Potensi pergeseran ekologi
Organisme transgenik dapat pula mengalami pergeseran
ekologi. Organisme yang pada mulanya tidak tahan terhadap suhu tinggi, asam
atau garam, serta tidak dapat memecah selulosa atau lignin, setelah direkayasa
berubah menjadi tahan terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut. Pergeseran
ekologi organisme transgenik dapat menimbulkan gangguan lingkungan yang dikenal
sebagai gangguan adaptasi.
4.
Potensi terbentuknya barrier species
Adanya mutasi pada mikroorganisme transgenik menyebabkan
terbentuknya barrier species yang memiliki kekhususan tersendiri. Salah satu
akibat yang dapat ditimbulkan adalah terbentuknya superpatogenitas pada
mikroorganisme.
5.
Potensi mudah diserang penyakit
Tanaman transgenik di alam pada umumnya mengalami kekalahan
kompetisi dengan gulma liar yang memang telah lama beradaptasi terhadap
berbagai kondisi lingkungan yang buruk. Hal ini mengakibatkan tanaman
transgenik berpotensi mudah diserang penyakit dan lebih disukai oleh serangga.
Penggunaan tanaman transgenik yang resisten terhadap herbisida akan
mengakibatkan peningkatan kadar gula di dalam akar. Akibatnya, akan makin
banyak cendawan dan bakteri yang datang menyerang akar tanaman tersebut. Dengan
perkataan lain, terjadi peningkatan jumlah dan jenis mikroorganisme yang
menyerang tanaman transgenik tahan herbisida. Jadi, tanaman transgenik tahan
herbisida justru memerlukan penggunaan pestisida yang lebih banyak, yang dengan
sendirinya akan menimbulkan masalah tersendiri bagi lingkungan.
Kekhawatiran bahwa tanaman transgenik menimbulkan keracunan
Masyarakat mengkhawatirkan bahwa produk transgenik berupa tanaman tahan serangga yang mengandung gen Bt (Bacillus thuringiensis) yang berfungsi sebagai racun terhadap serangga, juga akan berakibat racun pada manusia. Kehawatiran ini disanggah dengan pendapat bahwa gen Bt hanya dapat bekerja aktif dan bersifat racun jika bertemu dengan reseptor dalam usus serangga dari golongan yang sesuai virulensinya. Sebagai contoh gen Cry I pada Bt hanya kompatibel terhadap serangga golongan Lepidoptera, sedangkan gen Cry III kompatibel terhadap serangga golongan Coleoptera.
Masyarakat mengkhawatirkan bahwa produk transgenik berupa tanaman tahan serangga yang mengandung gen Bt (Bacillus thuringiensis) yang berfungsi sebagai racun terhadap serangga, juga akan berakibat racun pada manusia. Kehawatiran ini disanggah dengan pendapat bahwa gen Bt hanya dapat bekerja aktif dan bersifat racun jika bertemu dengan reseptor dalam usus serangga dari golongan yang sesuai virulensinya. Sebagai contoh gen Cry I pada Bt hanya kompatibel terhadap serangga golongan Lepidoptera, sedangkan gen Cry III kompatibel terhadap serangga golongan Coleoptera.
Selain itu, gen-gen tersebut hanya dapat berfungsi pada usus
serangga yang berpH basa. Sedangkan pada usus manusia, tidak terdapat reseptor
gen Bt dan memiliki pH usus yang bersifat asam. Dengan demikian, tanaman yang
mengandung Bt Toxin merupakan pestisida alami yang aman bagi serangga, hewan
dan manusia. Percobaan memberi makan tikus dengan kentang transgenik Bt
var. Kurstaki Cry 1. Hasil yang diperoleh ternyata memperlihatkan gejala villus
ephitelial cell hypertrophy, multinucleation, disrupted microvili, degenerasi
mitokondrial, peningkatan jumlah lisosom, autofagic vacuoles, serta pengaktifan
crypt paneth cell.
Timbul pula kekhawatiran masyarakat terhadap kemungkinan alergi
Sekitar 1-2% orang dewasa dan 4-6% anak-anak mengalami alergi terhadap makanan. Penyebab alergi (allergen) tersebut diantaranya brazil nut, crustacean, gandum, ikan, kacang-kacangan, dan padi (anonymous, 2010). Konsumsi produk makanan dari kedelai yang diintroduksi dengan gen penghasil protein metionin dari tanaman brazil nut, diduga menimbulkan alergi terhadap manusia. Hal ini diketahui lewat pengujian skin prick test yang menunjukkan bahwa kedelai transgenik tersebut memberikan hasil positif sebagai allergen.
Sekitar 1-2% orang dewasa dan 4-6% anak-anak mengalami alergi terhadap makanan. Penyebab alergi (allergen) tersebut diantaranya brazil nut, crustacean, gandum, ikan, kacang-kacangan, dan padi (anonymous, 2010). Konsumsi produk makanan dari kedelai yang diintroduksi dengan gen penghasil protein metionin dari tanaman brazil nut, diduga menimbulkan alergi terhadap manusia. Hal ini diketahui lewat pengujian skin prick test yang menunjukkan bahwa kedelai transgenik tersebut memberikan hasil positif sebagai allergen.
Alergi tersebut belum tentu disebabkan karena konsumsi
tanaman transgenik. Hal ini dikarenakan semua allergen merupakan protein
sedangkan semua protein belum tentu allergen. Allergen memiliki sifat stabil
dan membutuhkan waktu yang lama untuk terurai dalam sistem pencernaan, sedangkan
protein bersifat tidak stabil dan mudah terurai oleh panas pada suhu >65 C
sehingga jika dipanaskan tidak berfungsi lagi.
Dalam hal ini, lagi-lagi pendapat tersebut masih berupa
asumsi. Akan tetapi, memang saat ini belum ada cara yang dapat diandalkan untuk
menguji makanan RG yang bersifat allergen, sehingga kasus ini masih berupa
prediksi yang belum jelas kesimpulannya. Kekhawatiran terhadap kemungkinan
menyebabkan bakteri pada tubuh manusia dan tahan antibiotik. Kekhawatiran lain
muncul pada tanaman yang diintroduksi antibiotik Kanamicyn R (Kan R) ke
tanaman, diduga menyebabkan bakteri dalam tubuh menjadi resisten terhadap
antibiotik.
Sampai saat ini belum ada laporan ilmiah di Indonesia yang
membuktikan mengenai bahaya produk transgenik, selain reaksi alergis (produk
ini telah ditarik dari pasaran). Sehingga,sampai saat ini, tanaman transgenik
masih layak untuk dikonsumsi. Akan tetapi, memang diakui bahwa publikasi
mengenai resiko makanan produk RG terhadap hewan dan manusia, masih sangat
sedikit.
Padahal mungkin sebenarnya dampak
negatif konsumsi tanaman transgenik sudah banyak terjadi di masyarakat hanya
saja tidak banyak data yang membuktikannya. Di negara maju seperti Amerika,
urusan mengenai produk RG ditangani oleh FDA (Badan Makanan dan Obat-Obatan
Amerika). Pihak FDA ini membuat pedoman keamanan pangan melalui telaah
ulang produk transgenik, dengan didasarkan uji reaksi sifat alergen-non
alergen, analisis nutrisi, sifat potensial toksisitas-non toksisitas, sifat
fenotip dan reaksi molekuler. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tanaman
transgenik yang diproduksi saat ini masih dalam tahap uji coba, sehingga untuk
mengkonsumsinya, dibutuhkan sikap kritis dan ketelitian masyarakat dalam
mencari informasi dan penggunaannya.
Indonesia perlu mewaspadai masuknya produksi tanaman yang sudah dimodifikasi
secara genetik (transgenik), karena sekarang di Amerika 27 % produksi kedelai
dan 24 % produksi jagungnya berasal dari hasil rekaysa genetika . demikian juga
dengan hasil tanaman lain seperti tomat dan kanola. Kewaspadaan itu perlu
mengingat indonesia mengimpor kedelai dan jagung dari Amerika dengan jumlah
yang cukup besar, umumnya ada tiga gen yang diintroduksi ke tanaman, yaitu
ketahanan herbisida, ketahanan tehadap penyakit, memperbaiki mutu panen. namu
dampaknya tehadap lingkungan dan ketergantungan ekonomi perlu dikaji lebih
lanjut.
Terhadap lingkungan tanaman transgenik
dengan modifikasi tahan terhadap virus dapat memunculkan strain virus dulu yang
lebih ganas dan dapat memunculkan gulma super yang tahan herbisida. Tipe
kubis-kubisan yang diberi gen ketahanan terhadap herbisida serbuk sarinya
membuahi tanaman yang merupakan gulma, dikhawatirkan biji yang dihasilkan
berkembang menjadi gulma yang tahan terhadap herbisida. Burung yang makan dari
tanaman transgenik akan menurun kemampuan reproduksinya. Tanaman jagung yang
telah ditambahkan gen tahan serangga bakteri baccilus serangga disekitar
kebun akan menurun daya hidupnya, gen pada bakteri bacillus berfungsi
merusak pencernaan pada serangga, sehingga berfungsi sebagai insectisida.
Insectisida yang terkandung pada
jagung dapat mengendap ditubuh manusia, dan dapat menimbulkan berbagai
penyakit. Secara garis besar, yang dikhawatirkan dari tanaman
transgenik adalah:
1. Terjadinya silang
luar
2. Adanya efek
kompensasi
3. Munculnya
hama target yang tahan terhadap insektisida
4. Munculnya efek
samping terhadap hama non target (Muladno, 2002)
DAFTAR PUSTAKA
Buchmann, S.L. & Nabham,G.P. (1996). The forgotten
pollinators. Washington, D.C.: Island Press.Gleba, D., Borisjuk, N.V., et al.. (1999). Use of plant roots for phytoremediation and molecular farming. Proceedings of National Academy of Science U.S.A.
Hutchinson, G.E. (1965). The ecological theatre and the evolutionary play. New Haven, U.S.A: Yale Univ. Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar